by

Komisi Yudisial Segera Tindak Lanjuti Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim Tipikor Soal Korupsi APBD Tulangbawang

Jakarta, ForRakyat.co.id – Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia berjanji segera mempelajari dan menindak lanjuti pengaduan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) dan Tokoh Masyarakat Tulangbawang atas adanya indikasi pelanggaran Kode Etik Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tipikor Tanjung Karang, Bandar Lampung pada medio 2018 lalu.

Penegasan tersebut terungkap pada saat audensi, Selasa (20/2022) kemarin di ruang audien KY yang dihadiri oleh NS. Hadiwinata Ketua GNPK-RI Jawa Barat dan Saidi Effendi Tokoh Masyarakat Tulangbawang beserta rombongan.

Kepada peserta audien, Abdul Mukti, Kepala Bagian Pemeriksaan dan Persidangan Komisi Yudisial RI menyampaikan bahwa pihaknya akan lebih fokus pada pelanggaran kode etik, sehingga nantinya akan diberikan tindakan sebagimana kapasitas KY.

“Kaitannya dengan hal-hal lain dengan terdakwa, terdapat dugaan pelanggaran yang di lakukan oleh majelis hakim selama memeriksa, majelis memutuskan perkara, barang kali bisa di deskripsikan menjadi lebih klir,”ungkap Abdul Mukti.

“Dengan catatan, tadi ada batasan-batasan di Komisi Yudisial ini. Tidak hingga wilayah Makamah Agung, memang wilayah Komisi Yudisial yang mana memang wilayah pelanggar kode etik dan perilaku hakim,”sambung Abdul Mukti didampingi Jonsi Afriantara, Kepala Bagian Analisis, Produksi dan Dokumentasi KY dan para Kabag lainnya.

Berkenaan dengan putusan yang telah di tetapkan oleh majelis hakim, sambung dia, berkenaan dengan putusan sudah incrah dan sudah dijalani, maka kemungkinan akan ada kesulitan meninjau ulang vonis yang telah ditetapkan. Namun, kendati demikian KY akan mendalami dugaan pelanggaran untuk sanksi etik.

“Walupun dalam di dalam ketentuan kode etik dan perilaku itu ada prinsip di disiplin tinggi dan proporsionalisme, tetapi kita sudah membuktikan pada bagian mana yang kira-kira bagian disiplin tinggi dan proporsionalisme itu tadi biasanya pada umumnya berkenaan penanggalan hukum acara biasanya, dan itu harus kita buktikan,”tutur dia.

Masih menurutnya, terkait adanya indikasi pihak-pihak lain yang semestinya terjerat. Keluarga atau lembaga GNPK-RI dapat membuat pengajuan pengaduan baru dengan novum baru, kemudian untuk selanjutnya jika sudah memasuki tahapan sidang, agar diberikan tembusan kepada KY, agar prosesnya dapat diawasi secara langsung oleh KY sehingga putusan kedepan tidak dapat main-main.

Jika menyangkut pertimbangan kemudian putusan, lanjut Abdul Mukti, menjadi kewenangan sepenuhnya dari majelis hakim.” Upaya yang di lakukan adalah upaya hukum tadi, sehingga hal-hal yang demikian tadi ketika memang ada indikasi pelanggaran hakim beracara misalnya, bisa di sampaikan dengan komisi yudisial dengan disertai petunjuk-petunjuk yang kami butuhkan,”tuturnya.

“Sekalipun ini adalah pengawasan etik untuk bisa memberikan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik tentu kita harus ada buktinya tidak berdasarkan asumsinya saja,”jelas Abdul Mukti.

Kemudian, imbuhnya lagi, terhadap apa yang sudah di laporkan, pihaknya akan melihat laporannya apakan memenuhi syarat secara formiil maupun materiil.” Misalkan formiilnya ungkapan-ungkapannya sudah dipenuhi atau tidak, materiilnya apakah itu teknis apa bukan wewenang dari majelis hakim atau bukan,”terang Abdul Mukti menjelaskan.

Sekedar mengingat, pada medio Senin 26 April 2021 lalu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Tanjungkarang, Siti Insirah mendakwa NHD, BDN, dan SHR, ketiga mantan Pejabat Sekretariat DPRD Tulangbawang dengan Pasal Tindak Pidana Korupsi.

Dakwaan itu hasil pemeriksaan Penyidik Polda Lampung kala itu bahwa, akibat perbuatan ketiga terdakwa terdapat kerugian negara Rp 3,7 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Tulangbawang tahun anggaran 2018-2019.

BDN dijatuhi hukuman 4 tahun pidana empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider empat bulan kurungan penjara. Selain itu, terdakwa dijatuhi hukuman uang pengganti sebesar Rp711 juta, apabila tidak dibayarkan diganti hukuman dua tahun pidana penjara.

SHR divonis 4 Tahun penjara empat tahun penjara dan denda Rp100 juta, apabila tidak dibayarkan maka diganti pidana penjara empat bulan. Terdakwa menerima uang Rp2,5 miliar dan sudah dikembalikan Rp503 juta, oleh karenanya majelis hakim menjatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti Rp2,03 miliar apabila tidak dibayarkan.

NHD, selama 2,6 tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider empat bulan penjara. Selain itu, Nurhadi juga diwajibkan membayarkan uang pengganti Rp350 juta, apabila tidak mencukupi hartanya untuk dibayarkan maka diganti hukuman diganti hukuman tiga bulan penjara (rls/tim)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.